yak, ketemu lagi. berhubung ojik si pemuda lagi sakit jadi sekuel ketiganya ditunda dulu. sebagai gantinya, saya akan memanjakan imajinasi sodara sekalian dalam cerita horor berikut. nb: cerita ini hanya diketik ulang, ilustrasi: homemade by paint. selamat menikmati :)
"Aaah..., padahal ini libur musim panas pertama sejak masuk SMP...." Naoko kecewa. Begitu mulai libur musim panas, dia harus segera masuk rumah sakit karena usus buntu.
Naoko merasa gelisah karena sejak lahir baru kali ini dia masuk rumah sakit dan dioperasi.
Tetapi setelah masuk, ternyata kamarnya untuk 2 orang dan dia sekamar dengan Michiyo yang juga kelas 1 SMP. Mereka pun segera menjadi akrab. Operasinya juga ternyata jauh lebih mudah dari yang diduga sebelumnya.
Pada hari kedua, dia sudah diperbolehkan berjalan sendiri ke toilet.
Pada malam hari kedua itu Naoko sulit tidur. Michiyo tampak tertidur pulas, tarikan napasnya terdengar sayup-sayup.
Makin dipaksakannya tidur, makin melek matanya. Perutnya yang habis dioperasi tak memungkinkannya untuk membalik-balik badan. Dia hanya bisa terlentang dan berkali-kali menari napas. Tanpa disadari, waktu telah menunjukkan jam 02.00 malam
Waa…., jam segini…. Ke toilet, habis itu aku harus tidur! Pikirnya.
Buru-buru naoko pergi ke toilet. Begitupun, dia baru bisa berjalan pelan-pelan sambil meraba dinding.
Sebagaimana biasanya, pada saat itu tidak ada orang, baik di koridor maupun di toilet. Dibandingkan dengan koridor yang suram, toilet terang seperti siang.
Setelah mengganti selopnya dengan sandal di pintu masuk, Naoko bermaksud membuka pintu toilet yang paling dekat.
Ketika itulah, pintu itu terbuka dari dalam dan muncullah… mumi. Bukan, tetapi orang yang seluruh tubuhnya berbalut perban bagaikan mumi. Bersamaan dengan itu, tercium bau obat disinfeksi yang menusuk hidung.

“Hiii!” tanpa sadar Naoko terlompat mundur. Bekas operasinya terasa nyeri.
Kepala, maupun wajah orang itu, seluruhnya terbalut perban. Hanya mata dan mulutnya yang kelihatan. Jika dilihat dari wajahnya, tentu saja tidak dapat diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan. Tetapi, ini adalah toilet perempuan, dan orang itu mengenakan piyama merah jambu. Jadi dia pasti perempuan.
Lengannya pun terbalut perban. Begitu juga dengan kaki dan tangannya, terbungkus gulungan perban bagaikan kayu gelondongan.
“…. Maaf!” naoko minta maaf dengan suara seperti orang berbisik. Dia merasa adalah hal yang tak pantas jika kita takut melihat orang yang sakit. Begitu juga jika kita menjerit misalnya.
Orang itu menunduk tanpa berkata sepatah katapun, lalu keluar ke koridor. Sebelah kakinya agak diseret. Naoko mendengarkan bunyi selop yang perlahan-lahan makin menjauh. “Uh, kaget… orang itu pasti ga bisa tidur juga”, piker Naoko sambil meletakkan tangan di dadanya yang berdegup kencang.
Keesokannya, Naoko menceritakan tentang orang seperti mumi yang dilihatnya di toilet kepada Michiyo.
“Hah? Diperban semuanya? Terang aja kamu kaget. Tapi aku udah 2 minggu masuk rumah sakit kok ga pernah ketemu ya?”. Michiyo memiringkan kepalanya.
Malam itu selesai makan malam, Naoko merasa sangat mengantuk. Malam ini aku akan tidur nyenyak, pikirnya. Tak lama pun dia tertidur.
Namun pada tengah malam tiba-tiba dia terbangun. Dia ingin ke toilet. Dilihat jam, ternyata sudah jam 1 lebih sedikit.
“Ng…, toilet lagi…, sebel…” pikir Naoko. Mana masih mengantuk dan menyusahkan. Apalagi toilet rumah sakit pada tengah malam memang menyeramkan. Juga karena kejadian pada malam sebelumnya.
Namun semakin ditahannya, perut bagian bawahnya semakin terasa berat. Kalau tidak segera dikeluarkan, dia tidak akan bisa tidur.
Apa boleh buat, aku harus ke toilet… pikirnya sambil bangkin dengan enggan.
Pelan-pelan diintipnya koridor hingga ke toilet, tidak ada siapapun. Begitupun dia tidak bisa tenang. Pintu toilet diketuknya satu per satu dan dibukanya semua.
“OKE!” Naoko lega dan masuk kedalam.
Namun, ketika akan keluar, sama-samar terdengar bunyi pintu masuk dibuka dari arah koridor.
“Ah, ada orang!” pikirnya. Naoko tidak jadi membuka pintu. Tengah malam begini, dia tidak ingin bertemu orang di toilet. Apalagi orang yang berbalut perban seperti malam sebelumnya.
“Begitu orang itu masuk ke toilet dan menutup pintunya, aku akan keluar, jadi ga akan pas pasan” pikirnya.
Naoko menahan napas sambil memperkirakan keadaan diluar. Tetapi, setelah ditunggu tunggu tidak terdengar bunyi apapun.
“Lho? Mungkin perasaanku saja? Lagipula tak terdengar bunyi orang mengganti selopnya dengan sandal di depan pintu masuk”. Menyadari hal itu, Naoko menertawakan dirinya sendiri yang penakut, lalu membuka pintu dengan yakin.
Dan…, di depan matanya, berdiri orang yang seperti mumi itu. Di kedua mata dan mulut orang itu, ada lubang hitam menganga….
Karena terkejut, Naoko gemetar dan hanya berdiri mematung. Menjerit pun tak sanggup. Dia tak mampu bergerak seolah darah di seluruh tubuhnya berhenti mengalir.
Orang itu berdiri membelakangi cahaya. Makanya mata dan mulutnya tampak seperti lubang hitam.
Naoko tak ingat bagaimana dia bisa melewati orang itu. Setelah sampai di koridor pun kakinya masih kaku dan badannya tak bertenaga. Waktu menoleh kebelakang, dia masih merasa bahwa orang berperban itu ada di belakangnya. Dengan menggapai-gapai, dia berusaha kembali ke kamarnya. Kantuknya lenyap seketika.
“Ketemu sampai 2 kali, sial amet. Jangan-jangan ga bisa tidur sampe pagi nih, huhuhuhuh…” pikirnya, walaupun ujung-ujungnya tertidur juga.
Paginya, Naoko yang segera bangun, dan menanyakannya kepada perawat yang datang untuk mengukur suhu badan.
“Pasien yang seluruh tubuhnya diperban seperti mumi itu sakit apa?”
“Ng? Oh Tanaka? Wanita muda, kan? Kabarnya menderita luka bakar parah karena kebakaran. Tapi tahu dari mana?” perawat itu merasa heran.
“Itu.., semalam juga malam sebelumnya saya ketemu di toilet, sampe kaget…”
“Kalau begitu, mungkin orang lain. Tak mungkin kamu ketemu dia. Tapi aneh juga, pasien yang seluruh tubuhnya diperban ga ada lagi selain dia. Seperti apa orang itu?”
Naoko mengatakan bahwa orang itu mengenakan piyama merah jambu, dan sebelah kakinya agak diseret.
Mendengarnya, wajah perawat itu menjadi pucat.

“…. Mana mungkin… Orang itu… sudah meninggal…”
“Apa?”. Naoko balik bertanya.
Agak lama perawat itu menatap Naoko, lalu katanya, “Pasien itu, pagi kemarin dulu, meninggal”. Dia berkata jelas.
“Kemarin dulu?... Mana mungkin…?”
Kali ini Naoko yang menjadi pucat.
“Sebenarnya saya ga boleh mengatakan hal ini kepada pasien..” kata perawat. Setelah mempertimbangkannya sejenak, dia pun menceritakannya.
“Apartemen tempat tinggal pasien bernama Tanaka itu, tengah malam 4 hari yang lalu terbakar. Seluruh tubuhnya terbakar hebat., lalu dia dibawa kerumah sakit. Parah sekali. Dokter, dan kami semua, merawatnya semalaman, tapi paginya, dia meninggal.. itu, pagi kemarin dulu.”
“Tapi, tapi orang yang ketemu Naoko di toilet, itu mungkin orang lain…” potony Michiyo dari tempat tidur sebelah. Perawat itu berkata, “Tidak, itu pasti Tanaka. Kakinya memang agak cacat, dan dia mengenakan piyama merah jambu. Dan…”
Perawat itu menarik napas dalam-dalam, lalu menambahkan, “Dia, masih ada di rumah sakit”
Dengan gemetar Naoko menatap Michiyo.
Perawat melanjutkan ceritanya. “Keluarganya, ada di Okinawa, di pulau kecil. Anggota keluarganya sudah diberi kabar dan akan datang mengambil jenazahnya. Tapi karena ada angina topan, kapal tidak bisa berlayar. Makanya, sejak pagi kemarin dulu, dia terus di kamar mayat di lantai bawah menunggu dijemput keluarganya.”
“Ja..jadi, orang yang ketemu saya di toilet itu.. Tanaka?”
Dengan wajah pucat, perawat itu mengangguk.
Siang itu, jenazah Tanaka diambil oleh keluarganya. Namun rumah sakit menjadi gempar, karena selain Naoko, masih ada orang lain yang pernah melihat Tanaka berjalan di koridor pada tengah malam.
Kabarnya, diujung kaki jenazah Tanaka yang terbaring di kamar mayat, terdapat sepasang selop, yang tak seorang pun merasa telah meletakkannya disitu.